Akibat Tarif Trump, Pengusaha Kawasan Berikat di Gresik Minta Relaksasi Pajak dan Cukai
JATIMPEDIA, Gresik — Situasi perdagangan global yang terus bergejolak akibat kebijakan proteksionisme, khususnya “Tarif Trump” dari Amerika Serikat, memantik respons dari pelaku industri dalam negeri. Untuk itu Kantor Bea dan Cukai Gresik menggelar Morning Dialogue bersama para pengusaha dari Kawasan Berikat Gresik.
“Kita tidak bisa berpangku tangan di tengah gelombang tarif global. Morning Dialogue ini penting, bukan sekadar ceremonial, tapi sarana konkret untuk menghimpun aspirasi industri dan melaporkannya langsung ke pusat,” tegas Wahjudi Ardijanto.
Diskusi berlangsung lugas. PT Citi Plumb dan PT Langgeng Buana Jaya melaporkan bahwa lebih dari 90 persen ekspor mereka tertuju ke AS. Akibat tarif tinggi, perusahaan terpaksa menurunkan kapasitas produksi dan melakukan efisiensi tenaga kerja. Isyarat peringatan keras ini menggambarkan kerentanan rantai ekspor-impor nasional yang bergantung pada satu pasar utama.
Ditempat sama, perwakilan PT Jebekoko menambahkan bahwa meski ekspor ke AS hanya 15 persen dari total penjualan, dampaknya tetap signifikan. Respons berbeda datang dari PT Cargill Indonesia yang memilih mengalihkan sebagian produksi ke Pantai Gading dan Malaysia, sekaligus tetap menjaga pasokan ke AS lewat ekspansi bertahap. Sementara itu, PT Karya Indah Alam Segar menyoroti pentingnya fleksibilitas kebijakan kuota, terutama untuk produk suplemen pakan ternak Nutripro yang 100 persen diekspor ke Amerika.
“Kami mengusulkan penyesuaian kuota hingga 35 persen, ini krusial sebagai tameng jangka pendek,” ujar Andry dari PT KHAS.
Di sisi lain, Wakil Ketua APKB Jatim Raya, Mahrus mendesak pemerintah untuk mengupayakan renegosiasi dagang dengan AS agar harga produk ekspor kembali kompetitif. Tak hanya itu, mereka juga mengusulkan insentif PPN dan relaksasi penjualan lokal bagi perusahaan Kawasan Berikat.
Menutup diskusi, Mahrus menegaskan bahwa kebijakan relaksasi kuota penjualan lokal akan menjadi stimulus penting bagi industri.
“Pelonggaran ini bukan soal keuntungan semata, tapi menjaga agar pabrik tetap hidup dan menyerap lebih banyak tenaga kerja di tengah tantangan global,” kata Mahrus. (eka)