Makan Indomie di Tanah Suci, Obati Kangen Hingga Bumbunya Bikin Soto
JATIMPEDIA, Makkah – Meninggalkan rumah selama 41 hari merupakan waktu yang cukup lama saat melaksanakan ibadah haji. Saat itu kadang muncul kangen menikmati kulineran asal di Tanah Suci. Memang banyak pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan aneka makanan tradisional Indonesia, namun terbatas pagi sampai siang. Ketika rindu makanan muncul ketika makanan khas tidak ada, jalan alternatifnya adalah menikmati Indomie. Baik yang bungkus siap saji atau model cup yang banyak dijual di minimarket di sekitar Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi.
Membeli Indomie di Arab Saudi semudah membeli produk indofood itu di Tanah Air. Hampir semua minimarket menjual makanan sejuta rakyat di Indonesia dan sebagian belahan dunia lainnya. Dan bisa dipastikan di setiap hotel yang ditempati jamaah haji selalu tersaji atau tersimpan aneka indomie di kamar jamaah haji.
“Kami makan indomie hanya ketika kepingin saja. Atau lagi bosan menu katering yang disampaikan petugas katering PPIH,” kata Indiastuti, jamaah haji asal Surabaya.
Dikatakan, tidak membawa indomie bungkus maupun cup dari Surabaya. Dia membelinya di sejumlah minimarket yang ada di Madinah maupun Makkah. Dengan harga 3-5 riyal perbungkus atau sekitar Rp 12 ribu hingga Rp 20 ribu perbungkus dia tidak menyimpan terlalu banyak.
“Secukupnya saja, kalau kurang ya beli lagi. Kami biasanya menikmati indomie saat malam atau siang ketika lagi kepingin aja. Sebagianbesar indomie yang kami simpan ada rasa kuahnya. Tingga bikin campur nasi lalu ditambah abon yang kami bawa dari rumah, cukup untuk mengobati rindu makanan rumah,”kata Indri sambil menunjukkan indomie rasa soto, bakso dan kari ayam yang dia simpan di lemari hotel.
Tidak hanya memakan sesuai selera mie saja, ada sebagian jamaah yang justru mengincar bumbu siap saji yang ada di dalam kemasan indomie. Bumbu tersebut kemudian diolah sendiri secara sederhana hingga menghasilkan kuah kaldu sesuai pilihan.
Seperti yang dilakukan Siti Fatimah, jamaah asal Malang. Dia sengaja tidak memakan mie dalam kemasan indomie namun hanya mengambil bumbunya saja. Dia mencoba meramu bumbu siap saji indomie soto koya yang dibeli di minimarket.
“Saya ambil bumbunya saja 3 bungkus kemudian kami campur dengan penyedap rasa kaldu ayam tambah sediikit garam. Dan jadilah kuah soto koya untuk 10 porsi. Tinggal isianya kami tambahkan mie kuning yang sudah direbus, ayam goreng jatah katering yang kami suwir suwir seperti soto ayam lamongan di Malang. Rasanya gak kalah loho dengan pedagang soto di Malang sana, coba saja kalau gak percaya,”ujar Siti seraya menyodokan semangkok soto adonan bumbu mie instan.
Dan saat mencicipi, ternyata memang rasanya nyoto banget, cita rasanya gak kalah dengan yang dijual di Jawa Timur. Apalagi ada suwiran ayam jatah katering yang menambah selera makan soto ala jamaah haji. “Coba kalau beli di PKL pagi hari seporsi 10 riyal. Ini 3 bungkus saja bisa untuk 10 porsi masih nyisa malahan,”kelakar Sujarwo, jamaah laki yang ikut menikmati soto ayam di lorong kamar hotel.
Sejarah Indomie di Arab Saudi
Indomie awalnya dibawa pekerja rumah tangga Indonesia ke Arab Saudi tempat mereka bekerja. Mereka berbagi makanan sederhana yang sangat mudah dimasak itu dengan para majikannya. Tanyakan orang Saudi manapun tentang merek mi instan favorit mereka, dan jawabannya hampir pasti adalah “Indomie”.
Mie Goreng adalah varian yang paling populer dari semua varian. Popularitas Indomie di Arab Saudi akhirnya mengarah pada pembangunan tiga pabrik di Arab Saudi untuk memenuhi permintaan produk yang tinggi. Pabrik utama Indomie di Jeddah, yang terbesar di kawasan MENA, memproduksi hingga 2 juta bungkus sehari di Jeddah saja, sejak dibuka pada tahun 1992.
Indomie juga mendominasi 95 persen pasar mi instan di Arab Saudi, menurut Konsulat Jenderal Indonesia di Jeddah. Sarah Al-Suqair, seorang pekerja di rumah sakit mengatakan kepada Arab News mengungkapkan, Indomie telah menjadi bagian integral dari dapur Saudi selama dia bisa mengingat.
Menyiapkan dan makan mie instan tersebut juga sangat mudah, tidak hanya dilakukan di rumah. “Saya ingat saat Indomie cup sedang menggila di sekolah, itu adalah bentuk selundupan yang paling enak di sekolah,” ujar Sarah lagi.
Sarah Al-Suqair juga menceritakan cara-cara liar para siswa menyiapkan cangkir instan di sekolah, dengan sedikit akses ke air mendidih yang diperlukan untuk merebus mie.
“Saya ingat beberapa teman sekelas saya diskors karena menyelinap ke laboratorium kimia dan mencoba menggunakan pembakar Bunsen untuk merebus air untuk mi. Trik favorit lainnya adalah dua siswa memasuki ruang guru, di mana salah satu dari mereka akan mengalihkan perhatian guru dengan sesuatu yang kasar sementara yang lain diam-diam mencoba menyelinap air dari ketel mereka, ” katanya.
Mie instan yang mudah dibuat, murah dan mengenyangkan ini kadang dipadukan dengan pendamping yang lebih sehat seperti ayam dan sayuran. Berusaha lebih sehat, Leila bahkan pernah mencoba membuat versi mie gorengnya sendiri.
“Kenyataannya, sekeras apapun saya mencoba, saya tidak akan pernah bisa menciptakan kembali rasa Indomie yang otentik,” ujar Leila.
Indomie sebagai merek telah populer di lingkungan budaya pop Kerajaan. Logo Indomie bahkan telah menjadi barang dagangan, seperti kaos oblong dan peralatan dapur, pin dan stiker. Indofood, produsen Indomie, memelopori produksi mi instan di Indonesia, dan merupakan salah satu produsen mi instan terbesar di dunia yang telah memiliki lebih dari 80 kantor regional di seluruh dunia.
Tidak hanya membawa rasa lokal Indonesia, Indomie juga membuat rasa khusus di tempat negara-negara lain. Misalnya di Nigeria, salah satu konsumen terbesar di dunia, memiliki rasa Jollof, yang meniru rasa hidangan nasi Afrika Barat. (cin)