DPK Perbankan Mulai Melambat Sejak Maret 2025
JATIMPEDIA, Jakarta – Setelah mengalami penguatan pertumbuhan dalam dua bulan berturut-turut (Januari-Februari 2025), pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan kembali bergerak melambat pada Maret 2025 menjadi 4,75% year on year (yoy)
“Dana pihak ketiga perbankan atau DPK perbankan tercatat tumbuh 4,75% menjadi Rp 9.010 triliun,” ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar dalam konferensi pers Hasil Rapat berkala KSSK II Tahun 2025 yang digelar secara daring pada Kamis (24/4/2025).
Dia pun merinci setiap pertumbuhan instrumen DPK, baik itu giro, tabungan, dan deposito yang mana masing-masing bertumbuh sebesar 4,01% yoy, 7,74% yoy, dan 2,89% yoy.
Jika ditilik lebih lanjut, pertumbuhan total DPK sebesar 4,75% yoy pada Maret 2025 menandai telah terjadi pelambatan, setelah dua bulan sebelumnya penghimpunan dana masyarakat oleh perbankan tumbuh menguat.
Sebagai gambaran, DPK perbankan pada Desember 2024 tumbuh sebesar 4,48% yoy. Kemudian pertumbuhan tercatat lebih tinggi pada Januari 2025 menjadi 5,51% yoy dan sebesar 5,75% yoy pada Februari 2025.
Kekhawatiran mengenai pelambatan pertumbuhan DPK sejatinya sudah dibeberkan oleh Bank Indonesia (BI) pada Rabu (23/4/2025). BI menyebut bahwa sejumlah bank tengah menghadapi kesulitan untuk meningkatkan DPK, meskipun minat menyalurkan kredit masih kuat dan kondisi likuiditas relatif memadai.
“Minat penyaluran kredit dan kondisi likuiditas masih cukup memadai, meskipun sejumlah bank mulai menghadapi kendala dalam meningkatkan pendanaan, baik dana pihak ketiga (DPK) maupun sumber lainnya untuk penyaluran kreditnya,” beber Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo pada Rabu (23/4/2025).
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Umum I Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Alexandra Askandar menyatakan bahwa program-program pemerintah akan mendorong permintaan kredit (credit demand) di dalam negeri. Ini jadi kompensasi atas melemahnya permintaan kredit di sektor-sektor ekonomi di Indonesia yang terdampak tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
“Ada sektor yang memang secara langsung terdampak dengan adanya policy tariff ini. Tapi banyak sektor lain yang juga masih terbuka, ada ruang untuk pertumbuhannya (pertumbuhan kredit),” kata Alexandra di Jakarta, pada Kamis (24/4/2025), seperti dikutip.
Namun demikian, wanita yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) atau BNI itu menuturkan bahwa dari sisi penawaran kredit (supply credit), perbankan dihadapkan pada kendala likuiditas. Kecepatan penyaluran kredit ke depan salah satunya akan ditentukan oleh keseimbangan likuiditas tersebut.
Di samping itu, Alexandra juga menyatakan bahwa perbankan mesti menjaga kualitas asetnya di tengah potensi pelambatan ekonomi global saat ini dan ke depan. Risiko yang demikian itu membuat bank-bank tidak seagresif dibandingkan dengan periode sebelum perang dagang.(cin)