Bangkit Dari Pandemi, Desa Wedani, Gresik Bersama Bea Cukai Kini Jadi Desa Devisa Yang Mendunia

JATIMPEDIA, Gresik – Kabupaten Gresik memiliki ribuan UMKM yang bergerak di semua sektor. Saat pandemi Covid-19, sebagianbesar kegiatan UMKM terdampak, mulai penurunan omzet hingga terpaksa menutup usahanya. Seperti yang dialami sejumlah perajin sarung tenun di Desa Wedani, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik.

Geliat usaha sarung tenun di Desa Wedani Kecamatan Cerme sudah berlangsung turun temurun sejak 1960-an. Selama ini mereka menenun sarung saat mengisi hari menunggu budidaya tambak udang maupun bandeng yang memang menjadi mata pencaharian sebagianbesar warga Desa Wedani.

Sebelum pandemi, hasil produksi sarung tenun dijual berdasarkan permintaan pasar. Mereka biasa menjual produksinya di sentra busana muslim seperti di kawasan Sunan Ampel, Surabaya. Sebagian lagi dibawa warga Wedani yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia dan Arab Saudi. “Kadang ada tetangga yang kerja di Malaysia minta kiriman sarung, namun jumlahnya tidak banyak,” kata Ngatiaji (53), perajin sarung tenun asal Desa Wedani.

Saat pandemi melanda pada 2020 hingga 2021, praktis usaha sarung tenun yang digeluti warga turun drastis. Pembatasan aktifitas manusia oleh pemerintah menjadikan produksi menumpuk di rumah perajin namun sulit untuk dipasarkan. “Ya waktu itu masyarakat fokus menyelamatkan dirinya masing-masing agar tidak tertular dengan berdiam diri di rumah. Ini yang menjadikan permintaan merosot. Jika sebulan, tiap perajin rata-rata bisa memproduksi dan memasarkan 25 sarung. Saat pandemi, nyaris tidak terjual sama sekali,” kata Hadi Sanjaya, Kades Wedani, Kecamatan Cerme.

Kondisi ini kemudian menarik perhatian pemerintah untuk membantu nasib perajin sarung tenun di Desa Wedani. Pertengahan 2020,  Kantor Pelayanan Pengawasan Bea Cukai Tipe Madya B Gresik memulai program desa devisi. Berdasarkan evaluasi dan analisa bersama Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Disperindagkop) Gresik dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Gresik akhirnya menetapkan produk sarung tenun di Desa Wedani Kecamatan Cerme menjadi desa binaan.

Bea Cukai bersama Disperindagkop dan Dekranasda Gresik kemudian mendatangi dan  melakukan pembinaan  kepada perajin sarung tenun. Ketiganya berbagi peran. Diskoperindag memberikan pelatihan manajemen dan bantuan modal melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kemudian Dekranasda memberikan pelatihan tentang desain dan pengemasan produksi agar menarik minat pembeli. Kemudian Bea Cukai memberikan pelatihan melalui Klinik Ekspor bagi perajin sarung tenun Wedani.

Nurhasim Hamada atau Gus Da, desainer asli Gresik pemilik Kekean Wastra Galery bersama Wabup Gresik Aminatun Habibah saat memberikan sentuhan profesional dalam menenun sarung di Desa Wedani

Tidak cukup memberi pelatihan tentang bagaimana mengekspor produk kerajinan, membuat NIB badan usaha untuk ekspor, Bea Cukai juga mendatangkan desainer papan atas yang menjadi langganan Christian Dior, rumah mode dari Paris. Nurhasim Hamada atau Gus Da, demikian nama desainer asli Gresik yang bermukim di Bali ini kemudian memberikan sentuhan profesional dalam menenun sarung.

Kepala KPPBC TMP B Gresik,  Wahjudi Adrijanto didampingi Eko Rudi, Kepala Seksi PLI menyebutkan, upayanya mendatangkan pemilik Kekean Wastra Gallery, Bali ini semata-mata untuk  mengangkat sarung tenun asal Desa Wedani  Gresik ini agar diterima pasar global.

Baca Juga  Ribuan Jamaah Haji Aceh Terima Uang Saku Rp 6,5 Juta, Ini Ceritanya

“Saat bertemu dengan perajin, Gus Da atau sapaan akrabnya Nurhasim Hamada ini sangat tertarik dengan corak dan produk sarung tenun warga yang kami bina. Sehingga kemudian Gus Da secara  khusus memberikan wawasan agar sarung tenun Cerme ini bisa tampil di pentas dunia,” kata Wahjudi Adrijanto.

Melalui pembinaan Klinik Ekspor Bea Cukai dan tangan dingin Nurhasim Hamada yang  akhirnya produk sarung tenun Gresik ini dilirik oleh Christian Dior. Salahsatu perajin yang mendapat kesempatan itu adalah adalah Nur Halimah, asal Desa Wedani Cerme, Gresik.

Perempuan lulusan SMK ini akhirnya bisa memamerkan kepiawaiannya menenun di ajang Presidensi G20. Dia berada di pameran G20 di JCC. Ditemani alat tenun bukan mesin yang dibawa langsung dari desanya, dengan bangga ia menunjukkan cara menenun kain dengan corak berwarna di tengah delegasi yang berhenti sejenak memperhatikannya.

Perjuangan Nur Halimah bukanlah proses yang instan untuk kemudian mampu secara ahli menenun kain. Bersama para perempuan di desanya, ia bergabung menjadi Anggota Koperasi Wedani Giri. Selang beberapa tahun kemudian ia mampu menghasilkan kain yang dilirik oleh desainer sekelas Christian Dior.

Nur Halimah mengaku sangat bangga bisa berpartisipasi di acara berkelas dunia ini. “Awalnya saya hanya melakukan pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak menyangka pada akhirnya kain-kain ini bisa berkualitas ekspor dan dibeli oleh orang-orang luar negeri. Belum lagi kami juga mendapatkan kesempatan pelatihan dalam Klinik Ekspor dan Desa Devisa yang diinisiasi Bea Cukai Gresik untuk meningkatkan kualitas produksi dan akses pasar kami,” ujar Nur Halimah dalam sebuah kesempatan.

Nur Halimah juga berkesempatan dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika meninjau ke lokasi booth Rumah Joglo, pada 2022 silam. Nur Halimah mendapat kesempatan menjelaskan cara kerja alat tenun bukan mesin (ATBM) kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dan memandu untuk mempraktikannya.

“Saya bisa ketemu Menteri Keuangan yang selama ini hanya saya lihat di televisi, malah sekarang bisa berada langsung di samping beliau. Kita harus berusaha untuk mewujudkan mimpi,” kata Nur Halimah.

Baca Juga  Netizen Akui Salah Sasaran Serang Bea Cukai Terkait Barang Bawaan

Nur Halimah merupakan salah satu dari lebih 2.500 petani dan penenun yang menerima manfaat dari program Klinik Ekspor Bea Cukai dan Desa Devisa Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Program pendampingan yang dilaksanakan secara berkelanjutan kepada pelaku usaha dan pengembangan komoditas unggulan suatu daerah dengan tujuan akhir ekspor.

Desa Devisa Tenun Wedani Giri Nata juga ditargetkan mampu melakukan ekspor perdana pada tahun 2022 ini. Kedepan, Program Desa Devisa ditargetkan dapat direplikasi oleh berbagai wilayah dan komoditas lainnya di Indonesia.

Menteri Desa Abdul Halim Iskandar saat meninjau sentra kerajinan sarung tenun Desa Wedani Kecamatan Cerme

Kepala KPPBC TMP B Gresiik, Adrijanto Wahjudi menyebutkan, keberhasilan Desa Wedani bangkit dari masa sulit selama pandemi ini menjadi kebanggaan tersendiri. Menurutnya tugas dan fungsi bea cukai sendiri ada empat yaitu RCTI (Revenue Collector, Community Protector, Trade Facilitator, dan Industrial Assistance).

“Kenapa sekarang bea cukai hadir di desa ? karena salah satu fungsi kita adalah sebagai trade facilitator (membantu perdagangan) dan industrial assistance (memberikan asistensi pelaku industri). Sekarang bea cukai juga bergerak ke kantong-kantong UKM,” jelasnya.

Ia menambahkan, setidaknya ada dua cara agar perekonomian bisa kembali bangkit di tengah pandemi Covid-19 seperti saat 2020-2021 silam. Pertama, yaitu dengan berinvestasi, dan kedua adalah ekspor.

“Ekspor ini tentunya juga ekspor perusahaan yang besar maupun ekspor-ekspor pada pelaku usaha yang ada di sektor riil di masyarakat. Nah itu kira-kira kenapa bea cukai sampai masuk ke desa-desa,” imbuhnya.

Di sisi lain, ia menjelaskan terkait produksi yang bisa menjamin untuk keberlangsungan adalah pelaku usaha itu sendiri. Pasalnya, bea cukai lebih condong dalam membantu akses pasarnya saja.

“Karena dia yang tahu kapasitas produksinya, hitung-hitungan ekonominya. Kalau kita lebih kepada membantu akses pasar. Jadi kalau jaminan itu akses pasar kan biasanya mereka butuh kontinuitas bahwa produk ini jangan musiman,” jelasnya.

Kendati demikian, pihaknya tetap akan memberikan pendampingan kepada para pelaku usaha tersebut. Sebab, kualitas dan kontinuitas menjadi pegangan dari para buyer di luar negeri.

“Jadi, jaminannya ya dari teman-teman pelaku usaha sendiri. Tentunya itu tidak kami lepas. Kita pasti akan melakukan pendampingan,” tandasnya

Namun yang pasti, kata Kades Wedani, Hadi Sanjaya, bantuan yang diberikan pemerintah khususnya Bea Cukai telah membuka wawasan warganya yang berprofesi sebagai perajin sarung tenun. Kini 45 kelompok perajin sarung tenun mulai menikmati hasil dari jerih payah belajar manajemen bersama Bea Cukai. Para perajin mulai kebanjiran order sarung dari luar negeri. Permintaan itu datang dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam hingga negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar dan Emirat Arab.

Baca Juga  400 Ribu Wajib Pajak Belum Padankan NIK - NPWP

Sampai hari ini, perajin tenun di Desa Wedani telah mampu memproduksi 146.400 lembar sarung per bulan. Tidak hanya dijual di Indonesia, kain-kain itu diekspor secara tidak langsung (indirect export) ke enam negara, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Yaman, Bangladesh, dan Somalia.

Sejak dinobatkan menjadi “desa devisa” ke-24 pada November 2021,  perajin sarung tenun Desa Wedani kini telah memproduksi 146.400 lembar sarung per bulan. Produksi mereka  diekspor ke Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Yaman, Bangladesh, dan Somalia.

Sejak berstatus desa devisa, nilai ekspor kain tenun dari Wedani mencapai kisaran Rp 300 juta-Rp 400 juta per tahun. Kapasitas produksi meningkat 14 persen dan penjualan naik 29 persen. Tahun ini, hingga Agustus 2023, Desa Wedani telah mengekspor tenun dan menyumbangkan tambahan cadangan devisa bagi negara senilai Rp 450 juta.

Ariyatin, salahsatu perajin  mengatakan, dia bisa mengekspor 10 kodi sampai 20 kodi (200-400 lembar kain) setiap bulan. Harga yang dipasang berbeda-beda, tergantung dari bahan baku yang dipakai dan motifnya. Sebagai contoh, sarung motif ikat dengan bahan baku katun dihargai Rp 200.000 per lembar, sementara motif songket berbahan sutra bisa mencapai Rp 1,5 juta per lembar.

Dengan skema ekspor tidak langsung, penenun menjual kain ke distributor, yang melakukan pengemasan dan mengekspornya. ”Jadi, kami selama ini tidak punya merek, kami hanya produksi dan menjual ke orang lain yang punya merek, mereka yang mengekspor,” ujar Ariyatin.

Jika satu perajin mengekspor 10 kodi dalam sebulan, omzet bulanan yang didapat lewat skema tidak langsung itu Rp 5 juta-Rp 14 juta. ”Kalau bisa ekspor langsung secara sendiri, omzetnya bisa jauh lebih tinggi dari itu karena kami cukup bernegosiasi satu kali dengan pembeli di luar negeri,” katanya.

Kini Desa Wedani sudah mendunia, sarung tenun produksinya tidak saja masuk ke rumah mode Christian Diors di Paris, namun juga mewarnai masjid dan musala di kawasan Asean dan Timur Tengah. Tentunya tidak saja membangkitkan ekonmi masyarakat desa yang kini telah menjadi desa devisa, namun juga menjadi kunci keberhasilan Bea Cukai dalam melakukan pembinaan kepada masyarakat khususnya pelaku usaha kecil menengah mikro (UMKM) yang kini memiliki peran besar menopang perekonomian nasional. (ris)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *