Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025: GAIKINDO dan Ekonom Soroti Dampaknya
JATIMPEDIA, Jakarta – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) berharap kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 tidak berdampak signifikan terhadap sektor otomotif. Ketua I GAIKINDO, Jongkie Sugiarto, menyatakan optimismenya bahwa penjualan kendaraan bermotor di Indonesia dapat tetap stabil meski ada penyesuaian tarif pajak tersebut.
“Mudah-mudahan kenaikan PPN ini tidak terlalu memengaruhi penjualan otomotif di Indonesia,” ujar Jongkie di Jakarta. Ia menambahkan bahwa rencana kenaikan tersebut sudah diumumkan sejak lama, sehingga GAIKINDO menghormati keputusan pemerintah. Untuk menjaga penjualan, strategi sepenuhnya diserahkan kepada agen pemegang merek (APM).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021. Ia menjelaskan, kebijakan ini disusun dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk pemulihan pasca-pandemi COVID-19, dan pentingnya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kesehatan APBN harus dijaga agar dapat merespons berbagai krisis dengan baik. Kami juga akan berhati-hati dalam penerapannya dan memberikan penjelasan yang jelas kepada masyarakat,” kata Sri Mulyani.
Namun, kebijakan ini menuai sorotan dari sejumlah pihak. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengingatkan bahwa kenaikan PPN dapat berdampak pada daya beli masyarakat. Ia menyebut PPN 12 persen berpotensi mengurangi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income), yang pada akhirnya bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Daya beli masyarakat masih cukup tertekan. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang lebih pro terhadap daya beli,” ujar Huda. Ia juga menyoroti perlunya insentif konsumsi bagi kelas menengah sebagai penyeimbang dampak kebijakan ini.
Sebagai catatan, tarif PPN di Indonesia yang baru ini akan berada di atas Kanada (lima persen), tetapi masih lebih rendah dibandingkan beberapa negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Meski demikian, kebijakan ini diharapkan tetap mendukung keberlanjutan ekonomi tanpa mengorbankan masyarakat kelas menengah ke bawah.(raf)