Wujudkan Swasembada Gula, APTRI Desak Pemerintah Tuntaskan Persoalan Tebu

JATIMPEDIA, Surabaya – Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mendesak pemerintah segera menuntaskan sejumlah persoalan tanaman tebu agar bisa mewujudkan swasmbada gula pada 2028 mendatang. Persoalan itu di antaranya pembiayaan, pengadaan benih dan penyediaan pupuk yang stabil.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) DPP Pusat, Fathudin Rosidi, serta Ketua APTRI, Sunardi Eddy Sukamto dalam kegiatan FGD dengan tema “Penguatan Tebu Petani Rakyat” yang digelar di Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta, Selasa (2/7/2024).

Fathuudin Rosidi mengungkapkan, persoalan tersebut sudah lama dibahas namun hingga kini pemerintah belum melakukan aksi. Kalau ada langkah pemerintah sering terlambat. Dia mengakui, tanaman tebu rakyat rata-rata melakukan bongkar ratun atau replanting pada 10 tahun bahkan lebih. Padahal idelanya 4 hingga 5 tahun.

Mengapa terlambat, karena dibutuhkan biaya yang cukup mahal, mencapai sekitar Rp 58 juta per hektar. Sehingga akses pembiayaan menjadi hal utama dalam program ini

Kemudian persoalan benih yang seringkali tidak mendapatkan akses dan harga benin yang berkualitas serta terjangkau. Persoalan lainnya adalah penyediaan pupuk. Hingga kini alokasi pupuk untuk petani tebu masih minim. Dari total alokasi subsidi pupuk, petani tebu hanya mendapatka kurang dari 10 persennya saja. Sementara untuk mendapatkan pupuk non subsidi harganya terlalu mahal.

“Untuk itu kami minta bantuan dari pemerintah ini, petani bisa lebih semangat lagi dalam menanam tebu dan menghasilkan tebu yang baik sesuai dengan kebutuhan pabrik gula,” terang Sunardi Edy Sukamto.

Baca Juga  Pupuk Bersubsidi Dipastikan Ketersediaannya di Pulau Terluar

Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian, Andi Nur Alamsyah juga mengakui bahwa tebu petani mayoritas kondisi tanamannya merupakan tanaman keprasan yang lebih dari empat tahun. Sehingga perlu upaya perbaikan tata kelola tebu rakyat mulai dari hulu hingga hilir, baik dalam pengelolaan benih, pupuk, pengairan, pemeliharaan, mekanisasi, pengendalian serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) hingga pengelolaan panen dan pasca panen.

“Upaya lainnya dalam memperbaiki tata kelola tebu rakyat yang tidak kalah penting adalah dalam penyediaan permodalan, diperlukan model permodalan yang paling tepat, sehingga kemudahan dan keamanan pemodal untuk usaha tani tebu diperlukan penyesuaian,” kata Andi.

Ia mengungkapkan, model kredit permodalan yang menjadikan pabrik gula sebagai avalis merupakan salah satu model penyediaan modal yang dahulu cukup efektif. “Selain itu, penguatan kelembagaan petani agar petani lebih berdaya saing dan memiliki kekuatan tawar kepada PG maupun pedagang gula, serta yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan pola kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu,” terangmya.

Asisten Deputi Pembaharuan dan Kemitraan Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Bagus Rahman menyatakan komitmen Kementerian Koperasi untuk memperkuat kelembagaan petani.

“Yang masih Gapoktan, diharapkan nanti punya badan hukum sehingga ada akses pembiayaan. Diharapkan ekosistem ini bisa saling mendukung kepentingan petani mulai dari pembibitan, budidayanya. serta pembiayaannya dari KUR,” ujar Bagus Rahman.

Baca Juga  Bupati Gresik Tutup Susbalan Banser Satkorwil Jatim

Asisten Deputi Industri Perkebunan dan Kehutanan Kementerian BUMN, Faturohman juga menyatakan komitmennya menjadi offtaker hasil produksi tebu dan dalam memberikan kemudahan akses pembiayaan melalui program PUMK.

“Bahwa bank akan memberikan KUR apabila ada kepastian pasar. Nah, dari BUMN siap menyerap hasil tebu untuk diolah sebagai nilai tambah. Dari sisi kebijakan, BUMN juga akan perkuat dari sisi pendanaan, utamanya permodalan di SGN melalui berbagai opsi untuk meningkatkan kapasitas pendanaan. Saat ini, kami tengah mencari investor, ada beberapa calon potensial investor yang akan bekerjasama dengan SGN untuk menyupport dari sisi off farm maupun on farm. Beberapa dari investor luar negeri yang menjadi kerjasama tersebut,” terangnya.

Setelah itu juga ada program makmur, ini adalah ekosistem baru dari sektor bangan dengan melibatkan beberapa BUMN yang ikut dalam program tersebut. Mulai dari pengadaan pupuk, bibit, Himbara, hingga Kementerian Koperasi, asuransi juga dari sisi off taker. “Kami sudah bentuk dari sisi off taker dari RNI, PPI, berdikari untuk menjadi off taker dari gula yang dapat hasilkan petani,” katanya.

Direktur Utama Sinergi Gula Nusantara (SGN) Mahmudi menegaskan, ada dua persoalan utama di sisi hulu atau on farm yang harus diurai dan dilakukan perbaikan agar target swasembada gula konsumsi di tahun 2028 tercapai. Pertama adalah komposisi tanaman tebu di seluruh lahan, khususnya lahan tebu Petani. Karena lahan tebu Petani berkontribusi sekitar 60% dari total lahan yang ada.

Baca Juga  Mulai Januari 2025, Penyaluran Subsidi Pupuk Langsung ke Petani

Jika melihat luas lahan tebu yang mencapai 500 ribu hektar, ujar Mahmudi, maka komposisi tanaman tebu raton 3 keatas harusnya hanya sekitar 25%. Tetapi pada kenyataannya, tanaman tebu yang berusia 4 tahun hingga 10 tahun mencapai 86% sehingga produktivitas tebu menjadi sangat rendah. Sebab idealnya, proses “kepras” tanaman tebu hanya tiga kali, “kepras” pertama, kedua dan ketiga. Setelah itu, untuk mendapatkan produksi yang tinggi, harus dilakukan replanting, tanaman tebu harus dibongkar dan diganti dengan bibit baru yang diistilahkan “bongkaraton”.

Persoalan kedua adalah penataan varietas, harus seimbang antara tebu masak awal, tengah dan akhir. “Varietas masak awal kita rendah sekali, posisinya sekarang hanya 7,5%, padahal standarnya mencapai 30%. Jika dua hal itu kita lakukan, maka untuk mendapatkan produktivitas tebu 8 ton per hektar itu bukan sesuatu yang tidak mungkin,” terang Mahmudi

Menurutnya, target swasembada gula konsumsi 2028 itu sebenarnya bukanlah hal yang sulit dicapai karena pada tahun 1991, produktivitas tebu di Indonesia pernah mencapai 15 ton per hektar dan di tahun 2012 sempat diangka 9 ton per hektar. “Untuk mencapai target swasembada gula konsumsi dengan luasan 500 ribu hektar, sebenarnya hanya cukup 8 ton per hektar karena kebutuhan gula konsumsi hanya diangka 3,5 juta ton per tahun. Nah, inilah yang menyebabkan intensifikasi harus segera dilakukan,” pungkasnya. (ris)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *