BI Bersama Kemenko Marves Luncurkan Aplikasi Kalkulator Hijau

JATIMPEDIA, Jakarta – Bank Indonesia (BI) berkolaborasi dengan Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marves) meluncurkan aplikasi Kalkulator Hijau, Rabu (2/10/2024). Ini merupakan alat penghitung emisi gas rumah kaca berbasis smartphone, yang dapat digunakan pelaku ekonomi dan industri.

Deputi Gubernur BI, Juda Agung, menyatakan ini adalah upaya memfasilitasi industri keuangan dan non-keuangan menghitung seberapa hijau aktivitas  ekonominya. “Misalnya bagaimana penggunaan listriknya, penggunaan bahan bakarnya, itu semua ada emisinya dan bisa dihitung,” ujarnya.

Menurut Juda, emisi tersebut bisa dikompensasi dengan aktivitas-aktivitas hijau yang diterapkan industri. Misalnya, ketika korporasi menerbitkan surat berharga ‘green bond’ yang bisa jadi faktor pengurang emisi.

Aplikasi Kalkulator Hijau bisa diunduh pengguna android maupun iPhone. “Sekarang ini ada kewajiban bagi korporasi dan industri untuk melaporkan emisi karbonnya,” ucap Juda.

Baca Juga  KSSK Proyeksikan Ekonomi RI 2024 Tumbuh 5,2 persen

Emisi karbon yang semakin rendah akan berimplikasi pada kemudahan mendapatkan pembiayaan dari bank, termasuk untuk sektor riil. “Sehingga aplikasi Kalkulator Hijau ini sangat bermanfaat bagi industri dan sektor keuangan,” ujarnya.

Saat ini, aplikasi Kalkulator Hijau baru dapat menghitung emisi bahan bakar dan listrik. Namun, ke depannya diharapkan bisa juga menghitung emisi dari berbagai aktivitas.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves, Nani Hendiarti, menyatakan sangat mendukung pembuatan aplikasi. “Ini sangat diperlukan hingga di level global,” ucapnya.

Menurut Nani, Indonesia harus serius mengendalikan emisi karbon pada semua sektor. Termasuk sektor keuangan yang berperan penting untuk pembiayaan aksi iklim dan pendorong investasi hijau.

Baca Juga  Pemkot Surabaya dan BPOM Dukung Program Keamanan Pangan Terpadu

Pembuatan aplikasi Kalkulator Hijau ini juga melibatkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral. “Ini karena metodologi yang digunakan harus memiliki standar yang diakui secara internasional,” ucapnya.(raf)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *