Pengusaha Khawatirkan Kenaikan Harga Gas Industri

Jakarta, JP – Pelaku usaha mulai mengkhawatirkan kenaikan harga gas industri nasional. Kenaikan ini muncul setelah ada wacana pemerintah yang tengah mengevaluasi penerapan harga untuk tujuh golongan industri sebesar US$6 per MMBTU membuat kemungkinan adanya kenaikan harga.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, wacana kenaikan harga gas membuat pelaku industri gusar. Pasalnya tahun ini adalah tahun investasi dan pemulihan industri, jika harga naik akan mencederai Indonesia di mata investor.

“Pemerintah sebaiknya tidak mengubah tarif gas industri, sejatinya kebijakan harga gas yang telah berlaku saat ini telah sukses membantu industri pengolahan dalam masa pandemi Covid-19. Apabila pemerintah menaikan harga gas, akan memberikan multiplier effect buruk terhadap perekonomian dalam negeri,” ungkap Fajar seperti dikutip, Jumat (2/9).

Lebih lanjut dia mengatakan, munculnya wacana pengkajian ulang pada kebijakan harga gas sebesar USD 6 per MMBTU dari beberapa pihak membuat sejumlah pelaku industri dalam negeri mengaku geram.

Baca Juga  PGN dan PIS Teken Kerjasama di Tiga Sektor

“Wacana menaikkan harga gas justru membuat utilisasi produksi industri yang saat ini sudah menyentuh angka 75%, akan semakin merosot. Tak hanya itu, pengurangan karyawan pun akan terjadi seandainya harga gas kembali naik,” kata Fajar.

Menurutnya, wacana kenaikan harga gas juga dapat merusak upaya pemerintah dalam melakukan penguatan dan peningkatan daya saing industri nasional, serta secara otomatis akan membuka ruang yang lebih besar bagi produk impor masuk ke pasar dalam negeri apalagi Indonesia sedang melakukan perjanjian dagang dengan Uni Emirat Arab dengan Bea Masuk 0 persen.

“Industri lokal hanya jadi penonton dan berubah menjadi trader. Ini yang harus diantisipasi. Wacana untuk mengkaji kebijakan harga gas industri atau dalam maksud adalah menaikkan kembali harga gas industri, akan berakibat iklim kepastian berusaha dan investasi di tanah air rusak di mata pelaku industri lokal maupun global, karena tidak adanya kepastian hukum,” tukasnya.

Baca Juga  Dorong Ekowisata Bali, Subholding Gas Pertamina Perluas Pemanfaatan Energi Bersih CNG ke Industri Perhotelan

Fajar pun meminta pemerintah untuk mempertimbangkan beberapa hal, yang terpenting adalah menjaga daya beli masyarakat di tengah peningkatan harga energi global yang juga memengaruhi harga dalam negeri.

“Yang terpenting adalah mempertahankan daya beli, karena daya beli masyarakat pasti turun dengan tingkat inflasi saat ini. Kalau daya beli masih bertahan, maka permintaan akan produk industri pengolahan tetap terjaga,” tukasnya.

Menurutnya, wacana kenaikan harga gas ini tidak sepatutnya, karena industri dalam negeri hingga kini masih terbelenggu berbagai masalah seperti insentif perpajakan, pajak karbon, infrastruktur dan logistik, cuaca dan FTA yang cenderung merugikan indonesia.

Fajar meminta perpanjangan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) proyek. Hal ini menimbang antrian engineering contractor yang bisa molor, dari awalnya dua hingga tiga tahun, menjadi empat hingga lima tahun.

Baca Juga  PGN Kejar Target 400 Ribu Sambungan Jargas di Medan

Selain itu, dia mengimbau pemerintah menunda pengenaan pajak karbon. Hal ini dengan melihat kondisi global, yaitu ketidakpastian akibat tensi geopolitik Rusia dan Ukraina.

“Dulu ditetapkan belum ada perang, jadi tolong dikaji ulang sampai harga energi kembali normal. Kami tapi tetap akan menuju ke industri hijau,” ungkap Fajar.

Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur dan akses logistik. Menurut Fajar, saat ini permintaan sudah meningkat, sehingga pengusaha manufaktur harus memenuhi ketepatan waktu untuk mengirim barang. Mereka masih mengalami kendala terkait logistik, baik itu jalur darat maupun jalur laut.

“Belum lagi ada ketidakpastian mengenai cuaca. Ini akan menambah waktu pengiriman, terutama di jalur laut, sehingga ongkos terkait logistik bisa bertambah,” ungkapnya.

Terakhir, Fajar meminta pemerintah mengkaji ulang perjanjian perdagangan dengan negara lain. Pemerintah harus menimbang neraca keseimbangan. “Jangan sampai perjanjian perdagangan ini malah berbalik memberi ancaman bagi utilitas industri dalam negeri,” pungkasnya. (raf)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *