Kementerian ESDM Siap Genjot Produksi BBM Euro 4
JATIMPEDIA, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersiap menggenjot produksi bahan bakar minyak (BBM) sesuai standar Euro 4 yang kandungan sulfurnya jauh lebih rendah yakni maksimal 50 parts per million (ppm). Hal ini diambil sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas udara di Indonesia.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik,dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi mengatakan, peluncuran BBM rendah sulfur ini, nantinya akan bersamaan dengan penerapan kebijakan BBM subsidi yang tepat sasaran.
“Bahwa kita udah tau kualitas udara kita itu jelek. Salah satu penyebabnya adalah BBM kita masih mengambil sulfur yang agak tinggi. Sehingga menuju ke sana kan udah ada roadmapnya kan dikeluarin,” ujar Agus di Jakarta, Jumat (4/10/2024).
Pada kesempatan berbeda, Deputi Transportasi dan Infrastruktur Kemenko Marves Rahmat Kaimudin mengatakan rencana penyediaan BBM rendah sulfur bersubsidi itu tanpa menaikkan harganya. Penyediaan BBM bersubsidi rendah sulfur akan dijalankan secara bertahap, dimulai dari Jakarta sebelum nantinya berjalan secara nasional pada 2028.
Rahmat mengatakan, rencana tersebut dilakukan tanpa membebani masyarakat dan negara. Dengan demikian, pemerintah memiliki rencana untuk menyediakan BBM rendah sulfur yang lebih tepat sasaran, yaitu kepada golongan yang membutuhkan. “Jadi golongan kelas atas tidak lagi berhak memanfaatkan subsidi BBM,” ujar Rahmat.
Sekadar catatan, harga Pertamina Biosolar atau jenis Solar subsidi saat ini dibanderol Rp 6.800/liter. Adapun Kemenko Marves menekankan saat ini sudah terdapat kilang minyak yang siap menyediakan Solar rendah sulfur, khususnya di daerah Jakarta.
Saat ini, baru ada tiga produk dari pertamina yang memenuhi standar Euro 4 yakni Pertadex 53, Pertamax Green 95 dan Pertamax Turbo 98. Namun jenis BBM ini hanya tersedia hanya di Surabaya dan Jakarta.
Namun, Pertalite dan Pertamax masih memiliki sulfur maksimal 500 ppm. Padahal, Indonesia semestinya sudah menerapkan batas sulfur 50 ppm.
Dalam kaitan itu, penambahan anggaran subsidi BBM dinilai tidak dapat menjadi solusi bijak, menimbang risiko penyaluran subsidi BBM yang tidak tepat. Dalam lima tahun terakhir, kata Rahmat, pemerintah rata-rata menghabiskan Rp 119 triliun setiap tahunnya untuk subsidi BBM. “Ini artinya pajak masyarakat tidak secara optimal tersalurkan karena tidak dinikmati golongan yang membutuhkan subsidi tersebut,” pungkasnya.
Plt Dirjen Migas Dadan Kusdiana mengatakan, jenis BBM rendah sulfur merupakan jenis solar. Artinya penyediaannya akan menggantikan peran solar bersubsidi. Meski begitu, Dadan mengklaim rencana tersebut masih dalam proses kajian pemerintah. (raf)